Prosopon

Bagian dari seri
Kristologi
  • Kristus (Mesias)
  • Putra Allah
  • Allah Putra
  • Kirios
  • Logos
  • Inkarnasi
  • Prawujud Kristus
  • Pribadi Kristus
  • Kemanunggalan Hipostatis
  • Cinta Kasih Kristus
  • Meneladan Kristus
  • Pengetahuan Kristus
  • Syafaat Kristus
  • Kesempurnaan Kristus
  • Tiga Jabatan Kristus
  • Kristologi Lutheran
  • l
  • b
  • s

Prosopon (bahasa Yunani Kuno: πρόσωπον, prósōpon) adalah istilah teologi Kristen[1] yang digunakan untuk mebahasakan konsep pribadi ilahi.[2] Istilah ini memiliki signifikansi khusus di bidang ilmu Triadologi (ilmu yang mempelajari Tritunggal) maupun di bidang ilmu Kristologi.[3][4]

Istilah prosopon lazimnya digunakan dalam penyusunan karya-karya tulis ilmiah di bidang teologi, filsafat, atau sejarah agama, tetapi lazim pula diterjemahkan menjadi pribadi dalam penyusunan karya-karya tulis ilmiah maupun non-ilmiah. Istilah prosopon tidak boleh dicampuradukkan dengan istilah hipostasis, yang memang masih berkaitan dengan konsep pribadi ilahi, tetapi berbeda artinya.

Padanan Latin untuk prosopon, yang secara tradisional digunakan di Gereja Barat, adalah persona.

Selayang pandang

Dalam bahasa Yunani Kuno, istilah prosopon mula-mula digunakan untuk menyebut "wajah" atau "kedok" seseorang. Inilah makna prosopon yang dipahami di lingkungan seni pementasan Yunani Kuno, lantaran para pelakon pada zaman itu mengenakan kedok untuk mengungkap watak dan suasana batin kepada para penonton.[5]

Istilah prosopon berperan penting di dalam perkembangan peristilahan teologis yang berkaitan dengan Tritunggal Mahakudus dan Yesus Kristus. Istilah ini pernah menjadi pokok perdebatan dan pertengkaran teologis, khususnya pada abad-abad permulaan sejarah Kekristenan.[6]

Istilah prosopon paling lazim dipakai untuk menyebut manifestasi-diri hipostasis tertentu. Prosopon adalah rupa kemunculan hipostasis. Tiap-tiap hipostasis memiliki prosopon sendiri, yakni wajah atau paras. Prosopon memberikan ekspresi kepada realitas hipostasis berikut segala kuasa dan perwatakannya.[7][8]

Rasul Paulus memakai istilah ini tatkala berbicara tentang pengetahuan akan wajah (prosopon) Kristus yang diterimanya secara langsung di dalam hati (2 Korintus 4:6).

Di bidang ilmu Triadologi

Ikon bercorak Italia-Yunani yang menampilkan tiga pribadi Tritunggal Mahakudus, Venesia, abad ke-16

Sepanjang sejarah, ada tiga konsep teologis khusus yang sudah muncul di bidang ilmu Triadologi berkenaan dengan jumlah dan hubungan timbal-balik antarpribadi ilahi, yaitu:

  • Konsep monoprosopis bahwasanya Allah memiliki satu pribadi.[9]
  • Konsep dioprosopis bahwasanya Allah memiliki dua pribadi.(Bapa dan Putra);
  • Konsep triprosopis bahwasanya Allah memiliki tiga pribadi (Bapa, Putra, dan Roh Kudus).

Contoh pandangan monoprosopis yang paling menonjol adalah Sabelianisme purba dan turunan-turunannya, antara lain ajaran beberapa denominasi Kristen modern semisal Pentakosta Monoprosopis.[10]

Di bidang ilmu Kristologi

Sepanjang sejarah, ada tiga konsep teologis khusus yang sudah muncul di bidang ilmu Kristologi berkenaan dengan Pribadi Kristus, yaitu:

  • Konsep monoprosopis bahwasanya Kristus memiliki satu pribadi.
  • Konsep dioprosopis bahwasanya Kristus memiliki dua pribadi (ilahi dan insani).[11]

Pada paro-pertama abad ke-5, sejumlah teolog Antiokhia, antara lain Teodorus dari Mopsuestia dan muridnya yang bernama Nestorius, menggugat konsep kemanunggalan hipostasis kedua kodrat (ilahi dan insani) Yesus Kristus, tetapi menerima konsep kemanunggalan prosopis yang lebih longgar didefinisikan. Karena pandangan-pandangan mereka mengenai kemanunggalan hipostasis dianggap kontroversial, muncul pertanyaan-pertanyaan tambahan menyangkut ajaran-ajaran mereka mengenai kemanunggalan prosopis.[12]

Teodorus meyakini bahwa inkarnasi Yesus merupakan kebersemayaman Allah, yang berbeda dari kebersemayaman Allah yang dihayati nabi-nabi Perjanjian Lama maupun rasul-rasul Perjanjian Baru. Yesus dipandang sebagai seorang insan yang berbagi martabat keanak-Allahan Logos; Logos menyatukan diri dengan Yesus semenjak Yesus dikandung. Sesudah bangkit, insan Yesus dan Logos menyingkapkan bahwa keduanya senantiasa satu prosopon.[13]

Teodorus mewacanakan kemanunggalan prosopis dalam menerapkan prosopon kepada Kristus Sang Logos. Ia mendalilkan dua ekspresi Kristus, insani dan ilahi. Meskipun demikian, yang ia maksud bukan bahwasanya Kristus mencapai kemanunggalan dua ekspresi tersebut lewat pembentukan prosopon ketiga, melainkan bahwasanya satu prosopon yang dihasilkan Logos memberikan wajahnya sendiri kepada sang insan terjamin.[14] Ia menafsirkan kemanunggalan Allah dan manusia di dalam Kristus itu sama seperti kemanunggalan jiwa dan raga. Prosopon memainkan peran khusus di dalam tafsirnya mengenai Kristus. Ia menolak konsep hipostasis, karena yakin bahwa konsep itu bertentangan dengan kodrat sejati Kristus. Ia mengemukakan bahwa, di dalam Kristus, harus ada penerimaan jiwa maupun raga. Kristus menerima jiwa, dan atas berkat rahmat Allah mengantarkan jiwa itu kepada ketakterubahan dan kepada keberdaulatan paripurna atas sakit-derita badan.[15]

Nestorius lebih lanjut lagi menjabarkan pandangan-pandangan kemanunggalan prosopis Teodorus dengan menandaskan bahwa prosopon adalah "tampilan" dari ousia (zat), dan menyatakan bahwa "prosopon membuat ousia dikenal".[16] Pada beberapa kesempatan ia menitikberatkan hubungan tiap kodrat dengan tampilannya masing-masing, menggunakan istilah prosopon dalam bentuk jamak (prosopa), dan juga sebagai sebutan tunggal bagi kemanunggalan prosopis.[17] Keruwetan dan ketidakkonsistenan peristilahan tersebut menjadikan pandangannya menantang, bukan hanya bagi pihak pengecam maupun para pengikut sezamannya, melainkan juga bagi para pengulas maupun sarjana-sarjana kemudian hari.[18]

Gagasan dualitas prosopis itu sendiri sudah cukup menantang, sehingga memicu debat sengit antarteolog Kristen pada paro-pertama abad ke-5, yang bermuara pada pengutukan resmi terhadap pandangan-pandangan sejenisnya. Konsili Oikumene III tahun 431 mengukuhkan ajaran "Satu Pribadi" Yesus Kristus sebagai ajaran yang benar, dan mengutuk semua ajaran lain. Konsili Oikumene IV tahun 451 meneguhkan kembali gagasan Satu Pribadi Yesus Kristus, dengan merumuskan Takrif Kalsedon dengan klausa-klausa "monoprosopis"-nya (berpribadi satu), sekaligus secara gamblang menyangkali keabsahan pandangan-pandangan "dioprosopis" (berpribadi dua).[19]

Baca juga

Rujukan

  1. ^ González 2005, hlm. 142.
  2. ^ Daley 2009, hlm. 342–345.
  3. ^ Grillmeier 1975, hlm. 501-519.
  4. ^ Meyendorff 1989, hlm. 173, 190-192, 198, 287, 338.
  5. ^ Meyendorff 1989, hlm. 191.
  6. ^ Meyendorff 1989.
  7. ^ Grillmeier 1975, hlm. 431.
  8. ^ Nichols 2010, hlm. 35.
  9. ^ Ramelli 2011, hlm. 474.
  10. ^ Reed 2014, hlm. 52–70.
  11. ^ Spoerl 1994, hlm. 545-568.
  12. ^ Grillmeier 1975, hlm. 432, 463.
  13. ^ Norris 1980, hlm. 25.
  14. ^ Grillmeier 1975, hlm. 432.
  15. ^ Grillmeier 1975, hlm. 424-427.
  16. ^ Grillmeier 1975, hlm. 510.
  17. ^ Grillmeier 1975, hlm. 463.
  18. ^ Chesnut 1978, hlm. 392–409.
  19. ^ Meyendorff 1989, hlm. 177-178.

Sumber

  • Anastos, Milton V. (1962). "Nestorius Was Orthodox". Dumbarton Oaks Papers. 16: 117–140. doi:10.2307/1291160. JSTOR 1291160. 
  • Athanasopoulos, Constantinos; Schneider, Christoph, ed. (2013). Divine Essence and Divine Energies: Ecumenical Reflections on the Presence of God. Cambridge, UK: James Clarke & Co. ISBN 9780227900086. 
  • Behr, John (2011). The Case Against Diodore and Theodore: Texts and their Contexts. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780199569878. 
  • Braaten, Carl E. (1963). "Modern Interpretations of Nestorius". Church History. 32 (3): 251–267. doi:10.2307/3162772. JSTOR 3162772. 
  • Chesnut, Roberta C. (1978). "The Two Prosopa in Nestorius' Bazaar of Heracleides". The Journal of Theological Studies. 29 (2): 392–409. doi:10.1093/jts/XXIX.2.392. JSTOR 23958267. 
  • Daley, Brian E. (2009). "The Persons in God and the Person of Christ in Patristic Theology: An Argument for Parallel Development". God in Early Christian Thought. Leiden-Boston: Brill. hlm. 323–350. ISBN 978-9004174122. 
  • González, Justo L. (2005). Essential Theological Terms. Louisville: Westminster John Knox Press. ISBN 9780664228101. 
  • Greer, Rowan A. (1966). "The Image of God and the Prosopic Union in Nestorius' Bazaar of Heraclides". Lux in Lumine: Essays to Honor W. Norman Pittenger. New York: Seabury Press. hlm. 46–61. 
  • Florovsky, Georges (1987). The Eastern Fathers of the Fourth Century. Vaduz: Büchervertriebsanstalt. ISBN 9783905238075. 
  • Grillmeier, Aloys (1975) [1965]. Christ in Christian Tradition: From the Apostolic Age to Chalcedon (451) (edisi ke-2nd revised). Louisville: Westminster John Knox Press. ISBN 9780664223014. 
  • Kalantzis, George (2008). "Is There Room for Two? Cyril's Single Subjectivity and the Prosopic Union". St. Vladimir's Theological Quarterly. 52 (1): 95–110. 
  • Kalantzis, George (2010). "Single Subjectivity and the Prosopic Union in Cyril of Alexandria and Theodore of Mopsuestia". Studia Patristica. 47: 59–64. 
  • Loon, Hans van (2009). The Dyophysite Christology of Cyril of Alexandria. Leiden-Boston: Basil BRILL. ISBN 978-9004173224. 
  • Manoussakis, John Panteleimon (2006). "Prosopon and Icon: Two Premodern Ways of Thinking God". After God: Richard Kearney and the Religious Turn in Continental Philosophy. New York: Fordham University Press. hlm. 279–298. 
  • McLeod, Frederick G. (2005). The Roles of Christ's Humanity in Salvation: Insights from Theodore of Mopsuestia. Washington: COA Press. ISBN 9780813213965. 
  • McLeod, Frederick G. (2009). Theodore of Mopsuestia. London: Routledge. ISBN 9781134079285. 
  • McLeod, Frederick G. (2010). "Theodore of Mopsuestia's Understanding of Two Hypostaseis and Two Prosopa Coinciding in One Common Prosopon". Journal of Early Christian Studies. 18 (3): 393–424. 
  • Meyendorff, John (1989). Imperial Unity and Christian Divisions: The Church 450–680 A.D. Crestwood, NY: St. Vladimir's Seminary Press. ISBN 9780881410563. 
  • Nichols, Aidan (2010) [1992]. Rome and the Eastern Churches: A Study in Schism (edisi ke-2nd revised). San Francisco: Ignatius Press. ISBN 9781586172824. 
  • Norris, Richard A., ed. (1980). The Christological Controversy. Minneapolis: Fortess Press. ISBN 9780800614119. 
  • Pásztori-Kupán, István (2006). Theodoret of Cyrus. London & New York: Routledge. ISBN 9781134391769. 
  • Ramelli, Ilaria (2011). "Gregory of Nyssa's Trinitarian Theology in In Illud: Tunc et ipse filius. His Polemic against Arian Subordinationism and the ἀποκατάστασις". Gregory of Nyssa: The Minor Treatises on Trinitarian Theology and Apollinarism. Leiden-Boston: Brill. hlm. 445–478. ISBN 9789004194144. 
  • Ramelli, Ilaria (2012). "Origen, Greek Philosophy, and the Birth of the Trinitarian Meaning of Hypostasis". The Harvard Theological Review. 105 (3): 302–350. doi:10.1017/S0017816012000120. JSTOR 23327679. 
  • Reed, David A. (2014). "Then and Now: The Many Faces of Global Oneness Pentecostalism". The Cambridge Companion to Pentecostalism. New York: Cambridge University Press. hlm. 52–70. ISBN 9781107007093. 
  • Spoerl, Kelley M. (1994). "Apollinarian Christology and the Anti-Marcellan Tradition". The Journal of Theological Studies. 45 (2): 545–568. doi:10.1093/jts/45.2.545. JSTOR 23967638. 
  • Toepel, Alexander (2014). "Zur Bedeutung der Begriffe Hypostase und Prosopon bei Babai dem Großen". Georgian Christian Thought and Its Cultural Context. Leiden-Boston: Brill, 2014. hlm. 151–171. 
  • Turcescu, Lucian (1997). "Prosopon and Hypostasis in Basil of Caesarea's "Against Eunomius" and the Epistles". Vigiliae Christianae. 51 (4): 374–395. JSTOR 1583868. 
  • Weedman, Mark (2007). The Trinitarian Theology of Hilary of Poitiers. Leiden-Boston: Brill. ISBN 978-9004162242.